Ketua Umum DPP PATRI, Hasprabu |
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Di dunia ini ada bangsa atau suku tertentu punya doktrin, ingin menjaga kemurnian keturunannya (suku). Dampaknya, mereka sangat khawatir, tertutup, dan melindungi diri dari pengaruh asing.
Lebih ekstrimnya, memunculkan
gerakan separatisme, ras diskriminasi, menganggap golongannya yang terbaik, dan
lainnya. Padahal mobilitas, migrasi, merantau, dan hidup berpindah-pindah bagi
manusia sesuatu yang sunnatullah. Hukum alam. Kecenderungan yang tak bisa
dibendung.
Bagaimana Indonesia? Sesuai
namanya Nusantara, adalah negeri dengan ribuan kepulauan (archipelago). Status
Indonesia sebagai negeri kepulauan ini sudah dimaklumi dan diakui seluruh
dunia.
Berdasarkan perkembangan sejarah,
di negeri kepulauan ini banyak hikmah. Banyak peluang dan sekaligus tantangan.
Bagaimana dahulu para pendiri bangsa memikirkan? Menyatukan negeri dengan
ribuan pulau, ratusan suku bangsa, beragam kepercayaan dan budaya. Terutama
menjelang dan setelah diraihnya Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Jejak upaya itu tampak jelas.
Dimulai dengan mendorong penyadaran kebangsaan (Kebangkitan Nasional, 1908).
Kemudian memahamkan kepada warga bangsa pentingnya bersatu, mengutamakan
persamaan, mencegah perpecahan (Sumpah Pemuda, 1928). Dilanjutkan menyepakati
ideologi perekat bangsa (Pancasila, dan UUD 1945).
Apa bentuk konkrit yang dilakukan
negara menjaga kedaulatannya? secara massif non militer yaitu dengan memindahkan penduduk antar pulau.
Dimasa pasca kemerdekaan, perpindahan itu dikenal dengan nama Transmigrasi
(dimulai 12 Desember 1950). Sebelum kemerdekaan (1905) kegiatan itu disebut
kolonisasi.
Dibalik niat yang terkandung
dalam Gerakan Transmigrasi adalah untuk saling mendekatkan, mengenalkan,
menumbuhkan rasa cinta antar suku, dan kemudian secara bersama terbangun
kesadaran nasional mempertahankan kedaulatan.
Oleh karena itu tepat seperti
disampaikan Bung Karno (28/12/1964), Transmigrasi adalah Soal Mati-Hidup Bangsa
Indonesia. Jelas, tegas, lugas. Dimasa Orde Baru Gerakan Nasional Transmigrasi
itu semakin berkembang dilanjutkan Pak Harto.
Tetapi dalam perjalanan waktu dan
kebijakan pemerintah berikutnya, hakikat Transmigrasi sebagai Gerakan Nasional
Perekat Bangsa itu memudar. Transmigrasi dimaknai proyek perpindahan penduduk.
Sehingga yang lebih menonjol
adalah kesan aspek ekonominya. Tentu hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi,
kecemburuan sosial, dan berdampak resistensi. Bahkan dibeberapa daerah menolak
proyek transmigrasi. Walaupun dibeberapa daerah kebijakannya sudah dirubah.
Misalnya perbandingan jumlah
penduduk pendatang lebih sedikit dibandingkan warga setempat (trans lokal).
Tetapi pemahaman Gerakan Transmigrasi sebagai Perekat Bangsa, mulai luntur.
Karena itu untuk mengembalikan
pemahaman bahwa Gerakan Nasional Transmigrasi sebagai Perekat Bangsa, perlu
digemakan kembali secara massif. Diantaranya dengan menasionalisasikan
transmigrasi. Atau lebih konkritnya, mengembalikan makna transmigrasi yang
bernuansa proyek perpindahan penduduk, menjadi suatu Gerakan Nasional Perekat
Bangsa.
Dengan Cara Menetapkan Hari
Transmigrasi Nasional
Berdasarkan data dan fakta, saat
ini makin banyak anak keturunan Transmigran yang nikah antar suku. Hal ini
menunjukkan kian dekatnya hubungan antar anak bangsa akibat transmigrasi.
Kata pepatah: Darimana datangnya
cinta? Dari mata turun ke hati. Rasa cinta antar anak bangsa akibat kian dekat
perkenalan fisik diantara mereka. Dalam jangka panjang akumulasi akulturasi ini
akan melahirkan generasi baru yang kian cinta tanah airnya.
Generasi mereka tidak lagi
berbicara sekat kesukuan dan kedaerahan. Sehingga saat menjadi pemimpin mereka
lebih senang berbagi potensi daerah kepada sesama saudaranya, daripada
diserahkan kepada warga asing.
“Mari kita
gaungkan kembali. Gerakan Nasional Transmigrasi sebagai Pembangun Daerah dan
Perekat Bangsa, PATRI
Rumah Perekat Bangsa,” pungkas Hasprabu.
(Penulis
: Hasprabu Ketua Umum DPP PATRI).