KALBARNEWS.CO.ID
(JAKARTA) - Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20
tak terasa akan dimulai dalam kurun waktu beberapa hari ke depan.
G20 Di Tengah Pusaran Resesi
Pemerintah Indonesia yang telah didapuk setahun
yang lalu sebagai tuan rumah, sudah melakukan persiapan final untuk menyambut
kepala negara yang tergabung dalam forum G20, yang terdiri atas Australia, Arab
Saudi, Korea Selatan, Jepang, Turki, Kanada, Afrika Selatan, India, Amerika
Serikat, Italia, Argentina, Rusia, Brazil, Meksiko, serta Uni Eropa. Selasa (8
November 2022)
Selain itu juga ada undangan khusus yang bukan
anggota G20, seperti Singapura, Kamboja, Spanyol, Uni Emirat Arab, Belanda,
Senegal, Finlandia, Suriname, dan Fiji. Plus tambahan 10 undangan dari kepala
negara serta tokoh penting dunia.
Presiden Joko Widodo pada saat menyampaikan
pembukaan P20 di Gedung Parlemen DPR RI Senayan menyebutkan sudah ada 17 kepala
negara yang mengonfirmasi untuk menghadiri kegiatan tersebut di Bali, dan 3
kepala negara belum memberi kepastian hadir atau tidaknya.
G20 sendiri merupakan momentum yang krusial serta
berharga bagi Indonesia yang pertama kali ditunjuk menjadi tuan rumah semenjak
G20 berdiri, setelah perang dingin dan krisis moneter yang melanda dunia pada
tahun 1997. Tujuan dari G20 ini adalah bagian dari mengonsolidasikan negara
maju dan berkembang untuk bersama-sama mengatasi krisis serta mewujudkan
pertumbuhan global yang kuat serta berkelanjutan.
Yang perlu menjadi catatan adalah terkait
penyelenggaraan G20 tahun ini yang tentunya berbeda dari tahun tahun sebelumnya
adalah dunia sedang berada di dalam pusaran ketidakpastian. Efek dari kondisi
global yang makin dinamis, bahkan banyak kalangan yang memprediksi bahwa di
tahun 2023 dunia akan mengalami resesi ekonomi yang hebat. Hal itu ditandai
dengan kondisi hari ini yang melanda sebagian negara menghadapi ketidakpastian
ekonomi.
Memori ingatan kita masih tersimpan dengan jelas
bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab ketidakpastian yang melanda hari
ini adalah efek dari Perang Ukraina dengan Rusia yang tak kunjung usai.
Semenjak Rusia menyerang Ukraina pada awal 2022 membuat tatanan dunia menjadi
goyah dan semakin tak terarah.
Perang Ukraina-Rusia berdampak pada seluruh aspek
kehidupan masyarakat global, bukan hanya dari segi politik, tapi dampak yang
lebih luas secara ekonomi. Bahkan Bank Dunia merilis dampak dari perang ini
menurunkan pertumbuhan ekonomi global yang semula dari 4,1 persen menjadi 2,9
persen. Disebabkan oleh terganggunya rantai pasokan global, seperti terbatasnya
akses ekspor impor yang berimbas pada kenaikan energi hingga harga komoditas.
Selama Perang Ukraina-Rusia berlangsung terjadi
pembatasan akses energi, seperti minyak dan gas serta komoditas yang berimbas
pada kenaikan harga, menyebabkan terjadinya inflasi yang sangat tinggi di
sebagian negara di dunia. Tentunya kondisi ini menjadi sangat dilematis, di
saat dunia ingin kembali pulih setelah dihantam pandemi yang berkepanjangan,
kini kembali dihadapkan dengan ancaman krisis kembali akibat dari Perang Rusia
dan Ukraina yang tak kunjung usai.
Kondisi lain yang semakin membuat dunia makin
tidak pasti adalah meningkatnya suhu politik di berbagai kawasan yang
melibatkan negara-negara adidaya, seperti memanasnya hubungan Amerika Serikat
dengan China yang memiliki pandangan berbeda terkait kondisi di Laut China Selatan
serta Taiwan. Apalagi dengan adanya lawatan Nancy Pelosi yang merupakan Ketua
DPR Amerika Serikat ke Taiwan semakin membuat Beijing meradang, di saat ambisi
Tiongkok melalui kebijakan One China Policynya ingin kembali mengintegrasikan
Taiwan menjadi bagian dari Republik Rakyat China.
Selain itu, adanya rasa insecure dari Amerika Serikat terkait manuver China di Laut
China Selatan, semenjak adanya One Belt and One Road yang merupakan salah satu kebijakan ekonomi
ambisius yang dikeluarkan Tiongkok pada masa pemerintahan Xi Jinping pada tahun
2013, padahal keinginan Amerika Serikat adalah perairan di Laut China Selatan
sebagai jalur navigasi perdagangan yang bebas, sehingga membuat eskalasi
konflik yang terjadi di Laut China Selatan semakin tinggi.
Kondisi lain yang membuat pemimpin dunia khawatir
adalah terkait meningkatnya intensitas politik di Semenanjung Korea yang
melibatkan Korea Utara dengan Korea Selatan. Aktivitas latihan militer antara
Korea Selatan dengan Amerika Serikat membuat Korea Utara merasa terprovokasi
dengan menembakkan beberapa rudal ke arah Korea Selatan.
Tentunya ini membuat situasi geopolitik global
semakin rumit dan kusut. Prediksi beberapa kalangan bahwa di 2023 dunia akan
dilanda resesi ekonomi bisa jadi lebih dari itu karena akan ada resesi politik
yang membuat dunia bukan hanya gelap tapi gawat.
Harapan di Indonesia
Para pemimpin dunia juga bisa berkaca dari kondisi
di masa lampau, belajar dari masa lalu bahwa gejala-gejala yang terjadi bisa
memicu terjadinya perang yang lebih besar. Tentu ingat terjadinya Perang Dunia
I maupun II didahului oleh beberapa peristiwa, terjadinya sebab akibat. Di mana
akibat dari Perang Dunia I yang menimbulkan masalah ekonomi di banyak negara
menimbulkan kerusakan ekonomi yang begitu besar. Lalu ditambah dengan adanya
peristiwa besar yang disebabkan oleh wabah penyakit yang bernama Flu Spanyol di
tahun 1918, sebuah virus yang menelan jutaan korban jiwa hingga Peristiwa The
Great Deppresion, sebuah masa yang tak pernah terlupakan, karena ekonomi dunia
mengalami keterpurukan selama 10 tahun lamanya (1929-1939). Terjadinya inflasi
yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran,
serta menurunnya daya beli masyarakat.
Tentunya kejadian-kejadian ini jangan sampai
kembali terulang di masa sekarang, mengingat riak-riak yang terlihat hari ini
memiliki potensi ke arah tersebut apabila tidak dapat dimitigasi dengan baik
oleh para pemimpin dunia.
Momentum G20 ini sebenarnya menjadi peluang bagi
Indonesia sebagai tuan rumah untuk menunjukkan kelasnya sebagai negara yang
memiliki potensi sebagai negara yang maju untuk turut andil dalam memperbaiki
kondisi dunia hari ini. Jangan sampai kembali porak-poranda.
Tentunya ada harapan bagi dunia saat ini untuk
bisa mencegah terjadinya kondisi yang lebih gawat lagi, khususnya kapasitas
Indonesia sebagai Presidensi G20 sebagai negara yang cukup stabil setelah
pandemi, serta posisi politik jalan tengahnya bisa memiliki peran dalam
mendamaikan negara-negara yang sedang berkonflik.
Sikap Presiden Jokowi yang melakukan kunjungan ke
Ukraina dan Rusia merupakan langkah yang patut diapresiasi sebagai upaya dalam
mendamaikan Moskow dengan Kyiv yang terus berseteru, di saat para pemimpin
dunia lainnya hanya sibuk melakukan kecaman tanpa ada tindakan yang konkret.
Kunjungan Presiden Jokowi yang penuh risiko bagi
seorang kepala negara menjadi catatan sejarah bagi peradaban manusia, ketika
hadirnya seorang pemimpin negara bisa menjadi spirit perdamaian bagi dunia hari
ini.
Perlu ada langkah konkret yang perlu dibahas dalam
G20 nanti, agar negara-negara yang sedang berkonflik bisa menghentikan perang
yang hanya menimbulkan kerugian bagi rakyat yang tak berdosa. Sehingga Forum
G20 nanti menjadi harapan besar dan dinanti bagi jutaan masyarakat dunia, dan
bukan hanya menjadi ajang seremonial belaka tanpa adanya manfaat besar bagi
kondisi global hari ini yang membutuhkan langkah-langkah besar agar bisa lepas
dari situasi yang sulit ini.
*) Muhammad Sutisna adalah Co Founder Forum
Intelektual Muda (Tim liputan/Antara)
Editor
: Aan