KALBARNEWS.CO.ID
(JAKARTA) - Sejak perilisan film
pertamanya pada 2018, "Black Panther" tak hanya menjadi salah satu
karakter dan cerita penting di semesta sinematik Marvel (MCU), tetapi juga
sebuah fenomena budaya dan representasi yang begitu berpengaruh bagi banyak orang. Rabu (9 November 2022).
"Black Panther: Wakanda Forever" Dan Makna Baru Kepahlawanan
Kehadiran "Black Panther" yang
menampilkan cerita epik, penuh aksi, dan futuristik, juga turut merangkul
sejarah dan tradisi -- menggambarkan pergerakan, politik implisit dari negara
di Afrika untuk melawan penjajah yang haus akan sumber daya alam. Film mampu
membungkus banyak topik yang begitu serius itu ke dalam kemasan yang kekinian,
dengan pahlawan super yang keren sekaligus berdampak.
Namun, berpulangnya aktor Chadwick Boseman dua
tahun silam pun menimbulkan rasa duka, kehilangan, dan pertanyaan:
"Bagaimana Kerajaan Wakanda tanpa Black Panther?". Pertanyaan ini pun
menjadi premis dalam "Black Panther: Wakanda Forever".
Kepergian sang raja, sang pelindung Wakanda
membuat banyak orang terluka. Hal ini membuat para pemimpin kerajaan harus
terus kuat dan berjuang untuk melindungi negara mereka dari serangan pasukan --
walaupun begitu berat dan menantang.
Wakanda kini dipimpin oleh Ratu Ramonda
(diperankan oleh Angela Bassett) -- ibu dari T'Challa dan Shuri (diperankan
oleh Letitia Wright). Kerajaan yang sebelumnya terasingkan, kini telah dikenal
oleh dunia berkat kepemimpinan sang mendiang raja. Namun, sejak kepergiannya,
Wakanda menjadi sasaran banyak bangsa untuk diperebutkan, karena sumber daya
vibraniumnya yang begitu kaya.
Apalagi, para penjaga Wakanda sempat menemukan
sejumlah tentara bayaran yang mencoba masuk ke pusat teknologi negara tersebut,
dan mencoba mengambil vibranium dengan paksa. Tapi, mereka ditangkap, dan
membuat Ratu Ramonda marah besar di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
karena berani menyerang bangsanya.
Sementara itu, ancaman bagi Wakanda rupanya tak
hanya berada di atas permukaan tanah, namun juga muncul dari bawah laut.
Terdapat sebuah negara bawah laut bernama Talokan yang tersembunyi, dan berada
di bawah perintah Namor (diperankan oleh Tenoch Huerta Mejia).
Namor memiliki tujuan untuk melawan mereka yang
mencoba mengambil sumber daya alam wilayahnya, sembari mencari sekutu untuk
membantunya berperang. Ia juga menyasar Riri Williams (diperankan oleh
Dominique Thorne) yang ternyata ikut andil dalam pembuatan teknologi yang
merugikan Kerajaan Talokan.
Meski memiliki banyak karakter -- baik lama maupun
baru -- "Black Panther: Wakanda Forever" memiliki satu fokus yang
relevan dan terbilang tak jauh berbeda dari film pertamanya, yaitu tentang
menangkap makna kehilangan, pengorbanan, dan kepahlawanan. Setiap karakter
memiliki pandangan yang berbeda dari topik-topik tersebut.
Sutradara Ryan Coogler yang kembali membuat
skenario bersama Joe Robert Cole, melanjutkan warisan Black Panther dalam
cerita yang disusun dengan hati-hati, tema yang diperluas dengan bijaksana, dan
memiliki dampak emosional yang kuat bagi siapa pun yang menontonnya.
Kematian T'Challa membuat tokoh-tokoh utama
lainnya dalam "Black Panther" memiliki pengembangan karakter yang
berdampak. Orang-orang di belakang T'Challa -- yang kebanyakan adalah wanita --
memiliki caranya masing-masing dalam meratapi dan menghadapi kehilangan.
Basset dan Wright, yang memiliki peran vital dalam
film, tampil begitu luar biasa dalam memainkan karakternya. Pun dengan Danai
Gurira sebagai Jenderal Okoye, dan Lupita Nyong'o sebagai Nakia. Betapa besar
emosi yang diluapkan, air mata yang harus diusap, dan darah yang harus
dipertaruhkan.
Bagaimana para karakter ini melangkah lebih jauh
-- agaknya juga mencerminkan para pembuat film ini menjalani sekuel tanpa sosok
Boseman -- dorongan, kekuatan, dan hasrat kuat Coogler dan tim untuk membuat
warisan ini terus hidup.
Tak hanya berkutat dengan hal-hal serius,
"Wakanda Forever" juga memiliki elemen aksi yang seru. Ada juga bumbu
komedi dengan porsi yang pas, serta pengenalan karakter-karakter baru seperti
Namor dan Riri yang tentu saja memiliki kelanjutan dalam MCU.
"Black Panther: Wakanda Forever" bisa
dibilang berbeda dari film dan konten MCU Fase 4. Sekuel hadir dengan
penceritaan yang slow-burn, namun tetap imersif. Durasi 2 jam 41 menit pun
tak terasa berlalu karena balutan cerita, visual, dan suara yang begitu memukau.
Sinematografer Autumn Durald ("Palo
Alto", "Beastie Boys Story") dengan apik membawa audiens masuk
ke dalam dunia Wakanda dan Talokan. Keindahan ini semakin sempurna jika
disaksikan di layar terlebar yang bisa Anda kunjungi.
Sutradara Coogler pun menggandeng sejumlah
kolaborator lamanya, termasuk editor Michael P. Shawver, desainer produksi
Hannah Beachler, penata dekorasi Marlie Arnold dan Jason T. Clark, penata
visual efek Geoffrey Baumann, penata kostum Ruth E. Carter, dan komposer Ludwig
Goransson.
Audio di film ini pun tak kalah indahya dengan
visual yang ditampilkan. Scoring dari Goransson -- yang memenangkan piala Oscar
untuk "Black Panther" (2018), ditambah dengan lagu tema dari Rihanna
yakni "Lift Me Up", menjadi kombinasi lengkap bagi film ini.
Secara keseluruhan, "Black Panther: Wakanda
Forever" merupakan tribut sempurna untuk mengenang dan merayakan warisan
yang ditinggalkan oleh sang Black Panther -- Chadwick Boseman.
Para pahlawan "Wakanda Forever" berjuang
untuk hidup mereka, bangsa mereka, dan raja mereka yang telah tiada dengan
begitu berani. Keberanian pun agaknya tak hanya dinilai dari seberapa banyak
luka yang membekas di kulit, namun juga bagaimana seseorang mampu menerima
kerapuhan diri, untuk kemudian bangkit sebagai seorang prajurit.
Memang, sebuah sekuel tak terasa lengkap tanpa
pahlawan aslinya, namun, semua orang yang terlibat dalam film ini mencoba
mengisi kekosongan tersebut.
T'Challa memang telah tiada, tapi, di suatu
tempat, ia tersenyum -- merasakan begitu banyak cinta yang dimiliki bangsanya.
"Black Panther: Wakanda Forever" tayang
mulai 9 November di bioskop Indonesia. (Tim liputan)
Editor : Aan