Melipat Sarung, Wina Armada Sukardi |
Setelah
sarung terpakai, aku lihat masih banyak
sudut sarung yang tidak rapi. Aku bongkar kembali, dan mulai memakai sarung dari awal. Kali ini,
setelah sarung terpakai, sudut sarung sudah rapi, namun terlihat motif garis
sarung belum lurus dan belum selaras.
Aku lepas lagi, dan berhati-hati sarung aku
pakai dengan memperhatikan sudut-sudutnya agar tertata rapi.
Motif garis
telah tampil sesuai disain sarung. Merek
sarung aku buat tepat terletak di bagian
tengah bawah depan. Banyak orang yang
meletakan merek sarung di bagian bawah belakang, sehingga terlihat jelas dari jemaah di belakangnya. Sedang aku menukar letak
merek menjadi di depan.
Setelah dipasang
ulang, kini motif garis-garis di kain sarung sudah lurus, tidak bengkok,
selaras dan tidak terlipat-lipat. Letak
bagian bawah sarung tepat sedikit di
atas mata kaki. Ujung-ujung bagian bawah sarung pun telah sama rata. Rapi
sudah. Barulah aku siap sholat subuh.
Kendati
aku sholat subuh di rumah hanya berdua
isteri, bahkan terkadang sholat subuh
sendiri, karena mungkin isteri sedang sakit perut, atau ada di kamar lain, aku
selalu tetap memperhatikan kerapian memakai sarung.
Begitulah,
busana sholat subuh yang aku pakai setiap hari aku upayakan serapi mungkin.
Lho kok
begitu? Bukankah tak ada orang lain yang
melihat? Lalu buat apa berapi-rapi kalau
tidak ada orang yang melihat, tidak ada interaksi sosial dengan masyarakat?
Bagiku, ini
bukan persoalan ada orang lihat atau tidak lihat. Ini persoalan pengagungan
simbolik kepada Allah. Rasa hormat kepada Tuhan. Ini salah satu wujud ketaatan dan
kepatuhan simbolik aku kepada Alah. Kepada Tuhan.
Berbeda
dengan waktu sholat lainnya, saat sholat subuh kita belum disibukan dengan
pelbagai kegiatan lain. Jadi, kita dapat mempersiapkan diri sholat subuh sejak
awal dengan bebas, tanpa ada, atau belum ada, gangguan kegiatan lain.
Manakala
kita melakukan sholat subuh, maka itulah kegiatan awal kita. Disinilah sebagai
wujud pengagungan, penghormatan dan pengakuan kita kepada Tuhan, aku memberikan
kepada Allah sesuatu yang terbaik. Sesuatu yang optimal dari diri hamba ini.
Berbeda
dengan waktu sholat lain, yang mungkin kita sudah berinteraksi dengan orang,
lingkungan dan aktivitas kita lainnya, sehingga kita boleh jadi sudah dalam kondisi yang tidak prima, busana
pun sudah kurang rapi atau telah berubah karena banyak aktivitas, di waktu subuh semuanya masih
mulai dari awal. Mulai dari kosong. Kita masih dapat menata diri memberikan yang terbaik kepada Sang Pencipta, di waktu
kegiatan pertama kita
pada setiap harinya.
Kerapian
penampilan di saat sholat subuh, adalah bagian dari eskpresi ketaaatan dan
kepatuhan aku kepada Tuhan. Bagian dari kekaguman aku kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Bagian dari proses pengagungan dan pemujaanku kepada Allah. Bagaian dari tanda penghormatan simbolik seorang hamba kepada Sang Pencipa Alam
Semesta.
Jangan
keliru, Allah tidak membutuhkan penampilan busana rapi dan terbaik dari kita.
Siapa saja yang sholat subuh dengan khusuk, kemungkinan dapat diterima Allah.
Mau busana seperti apa, sepanjang memenuhi syarat-syarat syariah, bagi Allah
tak soal. Tuhan Maha Pemurah Pengasig lagi Penyayang.
Allah Maha
Berkuasa. Alllah tidak membutuhkan apa-apa dari kita. Sebaliknya, justeru
kitalah yang membutuhkan Alllah. Jiwa dan hati
kitalah yang memerlukan pengabdian kepada Allah. Dalam kontek inilah,
aku menempatkan Allah dalam posisi Yang Maha Agung. Yang Maha Tinggi. Oleh
karena itulah, aku merasa perlu
menghormati Tuhan secara optimal,
setidaknya pada sholat subuh.
Pemasangan
sarung yang tertata dengan rapi, motif sarung yang dibuat serasi dan
sudut-sudutnya yang tanpa cela, merupakan sebuah bukti dari diriku, aku ingin
memberikan yang terbaik manakala di subuh hari saat diriku menghadap kepada Tuhan Yang Maha Tinggi.
Jika kita
diangkat jadi menteri, dirjen, sekjen, anggota DPR, komisioner lembaga negara,
bahkan menjadi eselon 2 atau 3 Apratur Sipil Negara ( ASN) saat bakal
dilantik, kita berupaya memilih busana
yang sebaik mungkin. Demikian pula andai waktu kita diminta menghadap pejabat
tinggi, kita berupaya membawa diri dengan sebaik mungkin termasuk, antara lain,
lewat penampilan busana yang cocok.
Aku
bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa sewaktu sholat subuh, kita juga tidak memberikan yang terbaik kepada Allah?
Bagi aku, setidaknya pada sholat subuh
di rumah, aku membcoba memberikan
yang terbaik. Diriku membutuhkan hal itu sebagai salah satu cara mengabdi pada Zat yang jiwaku ada dalam genggamNYA.
Salah satu mekanisme simbolik aku menghormati Allah.
Lagi pula
hal itu sangat bermaanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan memeriksa
sudut-sudut dan lipatan sarung agar sarung menjadi rapi dan serasi, membawa
banyak dampak positif pada kehidupan dan
penghidupan nyata. Sering sebuah persoalan tidak selesai, ternyata penyebabnya, antara lain, ada satu atau dua
sudut-sudut persoalan yang tidak terjamah oleh kita, karena kita meremehkannya,
padahal sudut-sudut itu malah menentukan, sehingga walaupun sudah diupayakan
perbaikan, tetapi hasilnya masih belum tuntas. Rupanya kita sering lupa melihat
sudut-sudut kecil persoalan yang perlu dirapikan agar persoalannya selesai.
Maka merapikan sudut-sudut sarung waktu sholat subuh, membuat kita terbiasa
menyelami hampir setiap sudut kebidupan dan penghidupan, sehingga ketika ada
persoalan, kita tak melupakan sudut-sudut masalah yang mungkin biasanya
terabaikan.
Demikian
pula memperhatikan keserasian sarung sesuai disainnya, mengajarkan dalam
kehidupan nyata agar kita tidak melupakan faktor keserasian dan fungsi-fungsi
yang ada. Keserasian sesuai fungsi-fungsinya secara proposional merupakan salah
sayu faktor penting dalam memecahkan persoalan nyata dalam kehidupan dan
penghidupan. Pelipatan dan pemakian sarung di sholat subuh mendidik karakter
seperti itu.
Memberikan
penampilan yang rapi bagi Alllah bukan hanya menciptakan kebiasaan fisik yang
cermat, melainkan juga yang lebih penting melatih kebiasaan cara berpikir kita yang lebih detail, lebih cermat
dan lebih konprehensif. Kita dibimbing
untuk berpikir baik dari aspek markro maupun mikro, serta kombinasi antara
makro dan mikro. Sebuah manfaat yang penting buat kita, khususnya buat diriku
pribadi.
Sebelum
pandemi covid-19, aku hampir setiap hari sholat subuh di mesjid yang letaknya
cuma “sejengkalan” dari rumah. Itulah sebabnya Pak Uztad , pimpinan mesjid di
dekat rumahku, sering menyebut diriku “jemaah subuh.” Ini lantaran aku
kebanyakan hanya sholat subuh di mesjid dekat rumah. Setelah subuh , karena
berbagai kegiatan sehari-hari di luar rumah, pulang ke rumah sudah malam,
sehingga tak mungkin lagi sholat di mesjid.
Sejak
pandemi covid-19 merebak, lantaran berbagai faktor alasan, aku sementara
berhenti sholat subuh berjemaah di mesjid lagi. Tentu ada kerinduan untuk
segera dapat sholat subuh di mesjid lagi. Nanti mungkin kalau lebih
memungkinkan, aku insyaalah kembali
sholat subuh di mesjid.
Jika
aku sholat subuh di mesjid pun, biasanya aku juga
mengenakan busana yang serasi. Jika baju koko putih, contohnya, dikombinasikan
dengan busana lain yang menunjang penampilan baju koko putih. Kalau warna baju
biru, misalnya, dapat divariasikan dengan bawahan biru juga, tetapi warnanya
lebih tua. Bahkan aku sering mengenakan
busana berunsur tradisional atau ethik. Tentu dengan kombinasi yang serasi
dan aktratif.
Baik sholat
subuh di rumah maupun sholat subuh di mesjid prinsipnya sama: jika memungkinkan
aku bakal mengenakan busana menarik, serasi dan terutama kalau memakai sarung yang rapi.
Bukan, ini
bukan supaya dilihat oleh orang lain, terutama oleh umat yang ikut sholat. Ini
penghormatan simbolik kepada Allah.
Pengagungan simbolik untuk Allah. Di awal kegiatan kita, pada sholat subuh, aku
inginkan dan memberikan yang terbaik dan
paling rapi buat Allah. Akulah yang
memerlukan Allah, bukan Allah yang
memerlukan Aku.
Akulah yang
memiliki kebutuhan untuk memberikan yang optimal kepada Tuhan, bukan Tuhan yang
memerlukan aku. Jiwaku yang terpanggil mengabdi kepada Allah, Tuhan Seru
Sekalian Alam membuat aku merasa sejauh mungkin memberikan yang terbaik buat
Allah.
Aku tahu
manusia sumber khilaf. Aku tahu, aku tidak dapat memberikan yang terbaik
sepanjang hari, tetapi setidaknya di sholat subuh, aku telah berupaya
melakukannya. (Penulis : Wina Armada Sukardi)