Ketua DPR RI, Puan Maharani |
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Ketua DPR RI Puan Maharani turut bangga atas atas penghargaan sertifikat Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE) kepada Masjid Istiqlal.
Terlebih, masjid kebanggaan masyarakat
Indonesia tersebut menjadi yang pertama di dunia sebagai rumah ibadah dengan
bangunan ramah lingkungan atau green building.
"Ini sungguh menjadi kebanggaan kita
masyarakat Indonesia," kata Puan Maharani, Sabtu (09/04/2022).
Puan mengatakan, pada November tahun 2020
lalu ia sempat meninjau langsung renovasi Masjid Istiqlal. Ia sangat terkesan
karena mendapati dua azan, maghrib dan isya disana.
Puan bercerita, waktu itu, setelah sholat
Maghrib ia bersama Imam Besar Masjid Istiqlal KH Prof Nasaruddin Umar
mengelilingi area Istiqlal.
Ia pun sangat terkesan dengan hasil renovasi
terhadap masjid yang diinisiasi oleh Bung Karno itu.
"Dari sisi bangunan serta renovasinya
tidak hanya bagus, tetapi memang memenuhi standar sebagai green building,"
katanya.
Seperti diketahui, penghargaan sertifikat
EDGE diberikan International Finance Corporation melalui Country Manager IFC
untuk Indonesia dan Timor-Leste, Azam Khan pada Rabu (6/04/2022), dan diterima
langsung oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar.
EDGE merupakan standar bangunan hijau dan
sistem sertifikasi untuk membantu profesional dan para pelaku bangunan gedung
dalam mewujudkan bangunan hijau dengan konsep ramah lingkungan yang terbukti
menurunkan jejak karbon secara signifikan.
Ide Soekarno
Pembangunan awal Masjid Istiqlal tercetus
atas ide Presiden Soekarno, yang tak lain adalah kakek Puan Maharani.
Menurut Soekarno, ide awal pembangunan Masjid
Istiqlal sebenarnya muncul tahun 1944 dalam pertemuan sejumlah ulama, pimpinan
organisasi, dan tokoh-tokoh Islam di kediamannya yang berada di Pegangsaan Timur.
Ulama dan tokoh-tokoh Islam tersebut
menginginkan dibangun sebuah masjid agung di kota Jakarta yang sudah lama diinginkan
umat Islam.
"Kawan-kawan yang berkumpul di situ
menghendaki agar supaya pekerjaan ini
lekas dimulai," ucap Soekarno, seperti dikutip dari buku Solichin Salam
berjudul "Masjid Istiqlal Sebuah Monumen Kemerdekaan".
Kepada para ulama, Soekarno lantas menanyakan
soal biaya yang sudah disiapkan untuk membangun Masjid Istiqlal. Para ulama dan
tokoh-tokoh tersebut mengatakan bisa menjamin pendanaan Rp 500.000 dari dari
hasil patungan.
Soekarno merasa uang tersebut tidak cukup.
Sebab ia ingin agar Masjid Istiqlal dibangun secara megah dan kokoh.
"Saya berkata hoooh, itu uang lima ratus
ribu rupiah, setengah juta, bukan apa-apa, tidak cukup, jauh tidak cukup,"
kata Soekarno.
Para ulama dan tokoh Islam saat itu sempat
berusaha meyakinkan Soekarno bahwa dana yang sudah disiapkan cukup. Sebab,
banyak Umat Islam juga siap untuk menyumbang kayu, bahan bangunan, kapur dan
genteng.
Mendengar kata "kayu" dan
"genteng", Soekarno semakin teguh untuk menunda pembangunan masjid
agung.
Presiden pertama Indonesia itu lantas meminta
para ulama untuk bersabar. Soekarno menjelaskan keinginannya agar Masjid
Istiqlal dibangun dengan tujuan agar bisa bertahan dalam waktu lama.
"Marilah kita membuat masjid Jami' yang
bisa tahan seribu tahun, dan marilah kita, agar supaya kita mendirikan masjid
Jami' yang tahan seribu tahun itu, janganlah berpikir dalam istilah kayu dan istilah
genteng," kata Soekarno.
"Jikalau kita membuatnya sekadar dengan
genteng, sekadar dengan kayu, dalam tempo seratus-dua ratus tahun sudah lapuk,
sudah rubuh," paparnya.
Akhirnya setelah pemerintah mempunyai cukup
dana, pembangunan Masjid Istiqlal dimulai. Pemancangan tiang pertama dilakukan
tanggal 24 Agustus 1961.
Saat pemancangan tiang pertama itu Soekarno
menyampaikan harapannya bahwa Masjid Istiqlal akan menjadi salah satu masjid
terbesar di Asia Tenggara.
"Sudah nyata jikalau sudah jadi, masjid
ini adalah masjid yang terbesar di seluruh Asia Tenggara, tetapi mungkin sekali
dia adalah yang terbesar di seluruh dunia, lebih besar daripada masjid di
Istanbul atau di Kairo saudara-saudara," tegas Proklamator Kemerdekaan
Indonesia tersebut. (tim liputan).
Editor : Heri