Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didampingi Ketua Umum DPP LDII |
Dikutip dari
situs mui.or.id, ke-12 bahasan tersebut adalah makna jihad, makna khilafah
dalam konteks NKRI, kriteria penodaan agama, tinjauan pajak bea cukai dan juga
retribusi untuk kepentingan kemaslahatan, panduan pemilu dan pemilukada yang
lebih bermaslahat bagi bangsa, dan distribusi lahan untuk pemerataan dan
kemaslahatan.
Selain itu,
mengenai hukum pinjaman online, hukum transplantasi rahim, hukum
cryptocurrency, penyaluran dana zakat
dalam bentuk qardhun hasan, hukum zakat perusahaan, dan hukum zakat saham.
Masih dari
situs mui.or.id, Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan,
selama berjalanya Ijtima Ulama ke-7, terjadi permusyawaratan yang saling
menguatkan dan mengokohkan. Hal ini lantaran menjadi wujud dari shillatul fikri
(ketersambungan pemikiran) yang terjadi karena pertimbangan kemaslahatan.
‘’Perdebatan
ide, gagasan yang justru menguatkan dan mengokohkan, serta meneguhkan ukhuwah
dan juga kebersamaan di antara kita,’’ ujarnya dalam sambutan penutupan Ijtima
Ulama, Kamism.
Kiai Asrorun
Niam menambahkan, selama berjalannya musyawarah tidak didasarkan kepada
kepentingan yang bersifat personal baik ananiah (egois), hizbiyyah (fanatik
sempit), dan lainnya.
Hal tersebut
senada dengan imbauan Gubernur DKI
Jakarta Anies Baswedan, yang memberi sambutan dalam acara pembukaan Ijtima
Ulama. Ia meminta masyarakat semakin memperkuat rasa persatuan dan kesatuan.
Indonesia menurut orang nomor satu di Jakarta itu bukanlah persatuan asal-usul,
tetapi persatuan tujuan.
Menjadi
Indonesia, menurut Anies, adalah bersatu untuk mencapai satu tujuan yang sama,
yakni kemerdekaan hakiki, yang tidak lain adalah keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
"Harapannya
kita semua memperkuat persatuan. Lebih memperkuat narasi kita sebagai satu entitas
bangsa. Bukan justru dalam melihat Indonesia, ditonjolkan unsur-unsurnya.
Alangkah baiknya tidak membahas asal usul, akan tetapi bersatu untuk tujuan
bersama," kata Anies.
Anies
menganalogikan, bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah persenyawaan. Menurutnya,
berbagai unsur bergabung membentuk unsur baru yang berbeda dari unsur
pembentuknya. Karena menurutnya seringkali orang ketika melihat Indonesia lebih
menekankan unsur-unsurnya, bukan entitas barunya.
"Seorang
laki-laki dan perempuan yang membentuk suatu keluarga, dia adalah keluarga.
Keluarga itu ada laki-lakinya dan perempuannya, tapi keluarga bukan laki-laki
dan bukan perempuan, tapi satu dalam tujuan. Itulah Indonesia," tuturnya.
Sementara
Anggota Bidang Fatwa MUI DKI Jakarta KH. Aceng Karimullah, yang juga pengurus
DPP LDII mengatakan masyarakat Indonesia yang lebih heterogen berbeda agama
juga perlu toleransi, apalagi berbeda madzhab. Persatuan menurut ketua
Departemen Pendidikan, Keagamaan, dan Dakwah LDII itu harus diperjuangkan dan
dirawat dengan berbagai ikhtiar dari setiap unsur.
"Yang
perlu ditanamkan, jangan saling menghina atau mencaci karena itu semua ijtihad
ulama yang sudah ada dalilnya. Jangan melihat juga asal mereka dari mana, toh
sudah berikrar Bhinneka Tunggal Ika. Silakan melestarikan budaya masing-masing,
namun ketika sudah bertemu meski agama berbeda, yang dituju hanya persatuan dan
kesatuan," katanya.
Ijtima Ulama
Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII digelar pada 9-11 November 2021. Kegiatan
ijtima ulama ini dilaksanakan secara hybrid dengan protokol kesehatan, diikuti
oleh 700 peserta undangan. Peserta yang hadir secara fisik sebanyak 250 orang,
dan sisanya hadir secara virtual.
Kepesertaan
dalam kegiatan ijtima ulama kali ini terdiri dari Dewan Pertimbangan dan Dewan
Pimpinan MUI, pimpinan dan anggota Komisi Fatwa MUI pusat, pimpinan lembaga
fatwa ormas Islam tingkat pusat, Ketua MUI Bidang Fatwa dan Komisi Fatwa MUI
Provinsi se-Indonesia, Pimpinan Pondok Pesantren, Pimpinan Fakultas Syariah
PTKI, serta para pengkaji, peneliti, dan akademisi di bidang fatwa. (San/tim
liputan).
Uploader :
Aan