![]() |
Di Sidang MK, Presiden Nyatakan Dewan Pers Adalah Fasilitator |
Keterangan
tertulis Presiden Joko Widodo disampaikan melalui kuasa hukumnya Menteri Hukum
dan Ham RI Yasona Laoli dan Menteri Kominfo Johny Plate yang dibacakan langsung
oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo
Usman Kansong.
Menurut
Presiden, pasal 15 Ayat (2) huruf f bukanlah ketentuan yang sumir untuk
ditafsirkan, rumusannya sudah sangat jelas dalam memberikan suatu pemaknaan
bahwa fungsi Dewan Pers adalah fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan
di bidang pers.
“Memperhatikan
definisi kata memfasilitasi tersebut maka maknanya, Dewan Pers tidak bertindak
sebagai lembaga pembentuk atau regulator karena berdasarkan ketentuan a quo UU
pers, penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers dilakukan oleh
organisasi-organisasi pers. Hal tersebut telah secara jelas disebutkan setelah
kata memfasilitasi dalam ketentuan a quo terdapat frasa organisasi-organisasi
pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers.
Sehingga rumusan tersebut tidak dapat ditafsirkan menghalangi hak organisasi-organisasi
pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers. Namun justeru Dewan
Pers yang memfasiltasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan
pers,” paparnya.
Presiden
juga menjelaskan, dalam implementasinya berkenaan dengan peraturan-peraturan
yang disusun oleh organisasi pers, diterbitkan sebagai peraturan Dewan Pers,
hal tersebut lebih kepada konsensus di antara organisasi-organisasi pers agar
terciptanya suatu peraturan-peraturan pers yang kohesif yang dapat memayungi
seluruh insan pers sehingga tidak terdapat peraturan-peraturan organisasi pers
yang bersifat terpisah, sporadis, dan justru bertentangan dan menyebabkan
ketidakpastian hukum, dan menghambat terciptanya peningkatan kehidupan pers
nasional yang sehat.
Pada bagian
lain, Presiden menjelaskan, apabila para pemohon mendalilkan organisasinya
bernama Dewan Pers Indonesia maka itu bukanlah nomenklatur dan entitas yang
dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1) UU Pers.
“Berdasaran
hal tersebut Dewan Pers Indonesia, organisasi atau forum organisasi pers yang
menjadi anggotanya tidak memerlukan penetapan dari presiden dalam bentuk
keputusan presiden. Dan tidak ditangapinya permohonan penetapan anggota Dewan
Pers Indonesia oleh Presiden bukanlah suatu perlakuan diskiriminatif yang
melanggar UUD 1945 melainkan suatu tindakan yang telah sesuai dengan hukum yang
berlaku,” urainya.
Pada
kesempatan yang sama, Anggota Majelis Hakim Saldi Isra meminta kepada pihak
pemerintah supaya Mahkamah Konstitusi diberi tambahan keterangan terutama
tentang risalah pembahasan terkait dengan perumusan konstruksi Pasal 15 Ayat
(2) dan ayat (3) UU Pers.
“Kami perlu
tahu apa yang disampaikan oleh para penyusun UU itu. Karena kami khawatir bisa
saja apa yang dikemukakan oleh pemerintah adalah pemahaman tentang hari ini.
Oleh karena itu kami (perlu) dibantu agar tidak terjadi keterputusan semangat
yang ada dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers tersebut untuk membantu
kami secara komprehensif memahami dua norma yang diuji materi oleh pemohon,” tandasnya.
Sementara
Anggota Majelis Hakim Suhartoyo menanggapi langsung pernyataan pemerintah yang
mempertanyakan legal standing pemohon.
“Sebenarnya
kami tidak begitu memerlukan keterangan soal legal standing yang disampaikan
pemerintah karena itu menjadi wilayah mahkamah untuk mencermati dan menilai.
Tapi sebagiamana keterangan dari Presiden itu selalu mempersoalkan pada legal
standing padahal diperlukan sesungguhnya adalah substansi dari pada yang
dipersoalkan atau norma yang dipersoalkan oleh pemohon itu,” kata Suhartoyo.
Karena sudah
mengaitkan dengan legal standing maka, Suhartoyo mempertanyakan, bagaimana
kementerian Kominfo ikut mengendalikan soal organisasi pers ini.
“Karena hal
itu penting untuk kaitannya dengan legal standing yang dipersoalkan di
keterangan presiden itu. Bisa ditambahkan organsiasi apa saja yang kemudian
terdaftar dan memenuhi, persyaratan bagaimana respon pemerintah dengan
organisasi yang menurut saya itu ada beberapa yang memang di luar itu. Apakah
kemudian tetap diserahkan kepada dewan pers melalui konsensusnya itu ataukah
ada persyaratan yang secara yuridis tidak terpenuhi,” ungkapnya.
Sedangkan
Ketua Majelis Hakim Anwar Usman mengatakan, keterangan pemerintah sudah cukup
lengkap.
“Dan ini
tumben dilampiri dengan daftar bukti pemerintah yang berupa memori fantulikting
yang dikaitkan dengan apa yang diujikan,” ujar Usman.
Usman juga
meminta pihak terkait Dewan Pers untuk memberi keterangan terkait praktek dewan
pers selama ini.
“Mahkamah
meminta dijelaskan praktek selama ini dan bagimana keunggulan kelebihan yang
selama ini terjadi dalam rangka Dewan Pers itu bisa menjadi satu garda terdepan
dalam rangka menjaga pemberitaan yang dilakukan media cetak maupun elektronik,
dan media sosial bisa betul-betul mengawal berita-berita yang bertanggungjawab,
objektif, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (bukan) berita yang malah bisa
merusak kohesi nasional selama ini,”ujarnya.
Daniel
Yusman, Angota Majelis Hakim lainnya, juga meminta penjelasan pemerintah dan
pihak terkait mengenai jumlah perusahaan pers dan jumlah organsiasi pers.
Selain itu Yusman meminta keterangan mengenai sejarah sejak perubahan UU Pers
apakah pernah tidak di SK kan oleh Presiden, atau selama ini setelah perubahan
selalu ada SK Presiden terkait pengakatan anggota Dewan Pers.
“Karena
dalam permohonan pemohon semangatnya berharap presiden hanya menjalankan fungsi
administratif jadi tidak ada kewenangan untuk tidak mengeluarkan SK Presiden,”
ujarnya.
Menanggapi
keterangan Presiden, Hence Mandagi selaku pemohon membantah pernyataan
pemerintah bahwa bahwa sejak UU Pers berlaku selama 22 tahun tidak ada pemohon
yang mempermasalahkan ketentuan a quo namun begitu ada implementasi yang tidak
menguntungkan para pemohon maka baru mengajukan uji materi.
“Faktanya
organisasi dan wartawan sering melakukan protes atas kebijakan dan peraturan
Dewan Pers baik di Gedung DPR RI maupun di depan Gedung Dewan Pers. Dan
memuncak pada tahun 2018 lalu. Bahkan pelaksanaan Musyawarah Besar Pers
Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019, termasuk gugatan di PN Jakata
Pusat adalah wujud protes terhadap kebijakan Dewan Pers yang banyak menyebabkan
terjadinya kriminalisasi pers di berbagai daerah, dan termasuk protes terhadap
peraturan Dewan Pers yang mengambil alih kewenangan organisasi pers,” ungkap
Mandagi.
Bahwa
pemerintah juga mengungkapkan telah ada keputusan sengketa pers yang sudah
berkekuatan hukum tetap hingga ke tingkat Pengadilan Tinggi atas gugatan yang
diajukan Ketum SPRI Hence Mandagi dan Ketum PPWI Wilson Lalengke, sesunguhnya
ada informasi yang tidak diungkap secara utuh oleh pemerintah bahwa Keputusan
Majelis Hakim tingkat Pengadilan Tinggi memang tidak mengabulkan gugatan
pemohon namun telah menerima permohonan penggugat untuk membatalkan keputusan
majelis hakim tingkat PN yang menyatakan peraturan Dewan Pers adalah merupakan
peraturan perundang-undangan.
“Kami tidak
memilih kasasi ke Mahkamah Agung RI karena syarat pembatalan sebuah peraturan
lembaga di Mahkamah Agung adalah peraturan tersebut harus merupakan peraturan
perundang-undangan dan masuk dalam lembar negara. Sementara peraturan Dewan
Pers bukan peraturan perundangan karena sudah dibatalkan di tingkat PN dan
peraturan Dewan Pers tidak ada dalam lembar negara yang bisa dibatalkan oleh
MA,” katanya lagi.
Sementara pernyataan
Presiden bahwa pelaksanaan pemilihan Anggota Dewan Pers Indonesia tidak ada
cerminan dari pasal aquo karena dilakukan tanpa menggunakan perwakilan unsur
melainkan hanya berdasarkan Kongres Pers yang demokratis, menurut Mandagi
adalah tidak benar.
“Pelaksanaan
pemilihan anggota Dewan Pers Indonesia pada Kongres Pers dilakukan berdasarkan
pengusulan nama-nama calon yang mewakili unsur wartawan yang dipilih oleh
organisasi wartawan, pimpinan perusahaan pers yang dipilih organsiasi
perusahaan pers, dan tokoh masyarakat,
ahli di bidang pers atau komunikasi dan bidang lainnya dipilih oleh organisasi
wartawan dan organisasi perusahaan pers. Buktinya dalam daftar anggta Dewan
Pers terdapat nama-nama yang berasal dari tokoh masyarakat dan ahli di bidang
komunikasi, salah satunya adalah pakar komunikasi Emrus Sihombing,” papar
Mandagi.
Pemohon
lainnya, Soegiharto Santoso usai persidangan mengatakan, pihaknya memberi
apresiasi atas kehadiran Presiden melalui keterangan tertulis yang disampaikan
oleh kuasa hukum Menteri Kominfo dan Menkumham RI.
“Saya
menilai apa yang sudah disampaikan Presiden makin memperjelas bahwa kewenangan
membuat peraturan pers ada pada organisasi-organisasi pers bukan oleh Dewan
Pers. Jadi selama ini peraturan Dewan Pers yang mengatasnamakan konsensus
dengan para pimpinan organisasi pers seharusnya tidak boleh diterjemahkan
menjadi peraturan Dewan Pers. Seharusnya konsensus itu harus diterapkan dan
ditetapkan dengan Surat Keputusan oleh masing-masing organisasi pers menjadi
Peraturan Pers secara serentak dan seragam di seluruh organisasi pers termasuk
kode etik jurnalistik,” ungkap Soegiharto yang juga menjabat Ketua Dewan
Pengawas LSP Pers Indonesia, serta sempat menjadi ketua panitia kongres Pers
Indonesia tahun 2019 di Gedung Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
Namun menurut
Hoky sapaan akrabnya, dalam prakteknya Dewan Pers justru membuat konsensus itu
menjadi peraturan Dewan Pers dan menerapkannya kepada seluruh organisasi pers,
kemudian menghilangkan hak organisasi pers untuk memilih dan dipilih menjadi
anggota Dewan Pers dengan cara menentukan secara sepihak organisasi pers yang
jadi konstituennya.
“Hampir
seluruh organisasi pers yang membuat konsensus dinyatakan secara sepihak oleh
Dewan Pers bukan lagi sebagai konstituennya sehingga tidak berhak lagi
mengajukan calon dan memilih anggota Dewan Pers,” ungkap Hoky mengurai fakta
sejarahnya.
Sementara
itu, di luar persidangan, Ketua Persatuan Wartawan Mingguan Indonesia Gusti
Suryadarma yang ikut menyaksikan jalannya persidangan melalui chanel youtube
MK, mengatakan, pemerintah kelihatan jelas tidak tahu apa yang terjadi di insan
pers Indonesia selama ini. Pemerintah menurutnya, tidak tahu ada kezaliman,
ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum, dan bahkan cenderung ke arah
pelanggaran hukum.
“Pemerintah
mengatakan Dewan Pers menjalankan fungsinya sesuai UU Pers, namun pemerintah
tidak tahu bahwa Dewan Pers sudah berubah fungsi menjadi eksekutor yang
mengakibatkan kerugian materi berbagai pihak dan bahkan terjadi kriminalisasi
wartawan dan perpecahan insan pers nasional. Kebijakan Dewan Pers yang
melampaui kewenangannya siapa yang bertanggung-jawab? Makanya Pasal 15 UU Pers
perlu direvisi,” kata Gusti.
Sidang
lanjutan perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 akan dilaksanakan pada Selasa 9 November
2021 jam 11.00 wib untuk mendengarkan keterangan pihak DPR RI dan pihak terkait
Dewan Pers. **(tim liputan).
Editor : Aan