KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Sikap tegas yang diperlihatkan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, ketika menerima Menteri Luar Negeri RRC, Wang Yi, di Pejambon, Rabu sore (13/1), diapresiasi kalangan akademisi di tanah air.
Dalam
pertemuan itu, Menlu Retno Marsudi mengingatkan kembali arti penting menjaga
perdamaian dan stabilitas di perairan Laut China Selatan dengan menghormati
hukum internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
tahun 1982.
Dosen
hubungan luar negeri dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa,
mengatakan, ketegasan Menlu Retno Marsudi
memang perlu disampaikan langsung di hadapan Menlu China dengan harapan
China mengkoreksi agresifitas yang mereka perlihatkan beberapa tahun belakangan
ini.
“Kita
berharap, pemerintahan Partai Komunis China di Beijing semakin menyadari bahwa
agresifitas mereka telah memicu ketegangan dan mengganggu kedaulatan negara
lain, dan semoga mereka semakin mengerti bahwa diperlukan upaya dan
penghormatan bersama terhadap hukum internasional di kawasan,” ujar Teguh
Santosa dalam keterangan.
Agresifitas
China di perairan Laut China Selatan dimulai dengan klaim sepihak yang
dilakukan China pada 2009 atas perairan yang mereka masukkan ke dalam wilayah
yang dibatasi sembilan garis-putus atau dashed-lines.
Sebelum itu,
di tahun 2006 China meningkatkan anggaran pertahanan berkali-kali lipat, yang
dianggap oleh banyak kalangan sebagai sinyal konsolidasi kekuatan militer
China.
Bukan Isu
Baru
Teguh
Santosa dalam keterangannya juga mengatakan bahwa nine dashed-lines bukan isu
baru. Setelah Perang Dunia Kedua, klaim yang sama juga pernah disampaikan
China. Saat itu China menggunakan sebelas garis-putus.
Namun,
menurut pengampu mata kuliah politik di Asia Timur itu, civil war antara Partai
Komunis China dan Kuomintang membuat obsesi atas nine dashed-lines terabaikan
untuk sementara waktu.
Setelah PKC
memenangkan perang saudara dan memaksa Kuomintang melarikan diri ke Taiwan pada
tahun 1949, isu nine dashed-lines pun tidak segera muncul ke permukaan. Daratan
China yang dikuasai Partai Komunis China masih sibuk mengkonsolidasi diri.
Sementara di saat bersamaan, PBB masih mengakui Republik China dan Kuomintang
di Taiwan sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB.
Kepercayaan
diri PKC yang berkuasa di RRC mulai bangkit setelah normalisasi hubungan dengan
Amerika Serikat pada kurun 1971-1972, yang diikuti dengan pencopotan
keanggotaan Taiwan di PBB dan berbagai lembaga multilateral lainnya.
Pun begitu,
sampai babak ini, China masih belum menjadikan nine dashed-lines sebagai salah
satu isu utama.
“RRC dan PKC
semakin yakin setelah krisis moneter dan ekonomi di akhir 1990an, dan krisis
yang sama di tahun 2008, mengganggu pondasi ekonomi negara-negara di kawasan,”
ujar Teguh Santosa yang pernah menjadi Ketua bidang Luar Negeri Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI).
“Apalagi,
Amerika Serikat memutuskan untuk menutup dua pangkalan militer di Filipina,
Subic Bay dan Clark Air Base, pada 1992, menjadikan kawasan di Laut China
Selatan seakan ruang kosong,” masih ujar mantan Wakil Presiden Confederation of
ASEAN Journalists (CAJ) itu.
Mantan Wakil
Rektor Universitas Bung Karno (UBK) itu mencontohkan kasus yang terjadi antara
Filipina dan China. Di tahun 2013 Filipina yang terganggu dengan agresifitas
China mengajukan gugatan ke tribunal internasional Permanent Court of
Arbitration (PCA) di Belanda.
Namun China
tidak menganggap ada gugatan itu, juga tidak menganggap ada keputusan PCA yang
memenangkan Filipina. Sebaliknya, secara sepihak, China malah membangun
pangkalan dipulau-pulau atol yang ada di kawasan itu.
Pesmistis
China Mau Mengerti
Berdasarkan
pengalaman Filipina itu, di sisi lain Teguh Santosa mengatakan, dirinya
pesimistis China mau mengerti dan mau menganggap ketegasan yang disampaikan
Menlu Retno Marsudi.
Seperti
telah diketahui dan tengah menjadi pembicaraan masyarakat, hanya beberapa jam
setelah pertemuan Menlu RI Retno Marsudi dan Menlu China Wang Yi, Badan
Keamanan Laut (Bakamla) RI menemukan kapal milik China di perairan Selat Sunda.
Kapal itu
dikenali sebagai kapal survei Xiang Yang Hong yang tengah melaju dengan
kecepatan 10,9 knots menuju ke baratlaut. Menurut Bakamla, kapal Xiang Yang
Hong mematikan automatic identification system (AIS) yang mereka miliki saat
berada di perairan Natuna sehingga lolos memasuki wilayah Indonesia.
Menurut
penilaian Teguh, China berani bermain-main dengan Indonesia karena mengerti
fragmentasi sikap Indonesia terhadap negara itu.
“China paham
benar bahwa Indonesia menganggap mereka sebagai teman yang bisa diandalkan di
tengah situasi ekonomi yang tidak baik dan pandemi Covid-19,” kata Teguh
Santosa lagi.
“Di saat
yang sama, China paham Indonesia tidak sungguh-sungguh memilih jalan kedaulatan
untuk mengurangi dan menghilangkan ketergantungan akan hal-hal substansial pada
negara lain. Jadi wajar kalau mereka tetap besar kepala,” demikian Teguh
Santosa.*[tim liputan].
Editor : Aan